Rabu, 09 Oktober 2013

MEMBANGUN KARAKTER PESERTA DIDIK


Ada dua elemen yang berpengaruh dalam membangun karakter yaitu akal dan budi. Akal tentu merujuk pada hal intelektualitas. Sedangkan budi merujuk perilaku, moral, dan karakter. Bahkan terkait pendidikan ini, amandemen keempat UUD 1945 lebih spesifik menjelaskan dalam bab 13 pasal 31 ayat 3: "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang".

Sangat jelas cita-cita dan semangat UUD atas pendidikan kita. Yakni bukan sekadar pembentukan intelektualitas semata. Tapi juga budi pekerti luhur-akhlak mulia. Namun dalam taraf pelaksanaannya ada yang salah. Sehingga, pendidikan kita kehilangan orientasi yang seharusnya. Tetapi hanya sebatas output hasil semata berupa angka-angka.

Orientasi yang salah inilah menjadikan bangsa kita tidak kunjung bangkit dari keterpurukan permasalahan. Penyakit akut kemiskinan dan korupsi terus menggelayuti masa depan bangsa kita. Sebab, pendidikan kita terjebak dalam orientasi pragmatis sehingga tergiur untuk mencapai tujuan dengan cara-cara praktis.

Kecerdasan intelektual diraih namun mental para anak bangsa kering dan hampa tanpa karakter. Erie Sudewo dalam bukunya Character Building (2011) secara gamblang menggambarkan betapa pentingnya elemen karakter. Ia menyatakan "Tanpa karakter, manusia pun bisa unggul dengan kapasitas dan kapabilitasnya. Namun semakin dia cerdas, semakin tinggi kedudukannya, dan semakin kaya, maka semakin jahatlah dirinya. Sebab orang yang unggul tanpa karakter, yang muncul adalah tabiatnya. Sifat-sifat buruknya sebagai perilaku sehari-hari".

Selama ini sekolah formal semacam SMP dan SMA selalu menjadi tujuan utama orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya. Sedangkan sekolah-sekolah nonformal semacam asrama dan pondok pesantren selalu menjadi pilihan terakhir. Dengan alasan-alasan yang cukup lumrah dan manusiawi, pondok pesantren mendapatkan predikat sebagai sebuah lembaga pendidikan yang kolot, kumuh, dan jauh dari kemajuan jaman.

Ada berbagai kelebihan dan kekurangan yang masing-masing dimiliki oleh sekolah nonformal dan pondok pesantren. Sekolah formal cenderung menghasilkan lulusan-lulusan yang melek terhadap dunia luar dan memiliki output intelektualitas yang lebih, namun cenderung hampa karakter.

Sebaliknya, alumni pondok pesantren cenderung memiliki karakter yang kuat, namun gagap terhadap perkembangan dunia luar, dan kemampuan intelektualitasnya di bawah sekolah formal. Dan, kenyataannya adalah selama ini sekolah formal tidak mampu mengemban tugas untuk memberikan kebutuhan pendidikan karakter kepada para pelajar.

Mata pelajaran agama dan pendidikan kewarganegaraan pun semakin tahun kian berkurang porsinya. Hal yang semakin membuat miris adalah selain asupan mata pelajaran tersebut semakin sedikit, para pendidik pun tak mampu menerapkan nilai-nilai moral dalam setiap interaksi nyata terutama pada pertemuan-pertemuannya di kelas.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar